Sebagaimana diketahui
dalam literatur –literatur ketatanegaraan, khususnya yang membahas tentang ilmu
negara, disebutkan bahwa syarat –syarat berdirinya suatu negara adalah harus
memnuhi tiga unsur pokok sebuah negara, yaitu adanya wilayah, rakyat dan pemerintah
yang berdaulat. Tampak ketiga unsur tersebut sudah dipenuhi oleh negara –negara
yang ada sekarang ini.
Unsur wilayah disini
tidak terbatas pada wilayah daratan saja, melainkan juga termasuk dalam wilayah
laut dan udara. Ada negara di dunia yang tidak memiliki wilayah laut, namun
tidak satupun negara yang tidak memiliki ruang udara. Timbul pertanyaan,
dapatkah suatu negara memiliki ruang udara?
Dalam hukum Romawi,
ada suatu adagium yang menyebutkan, bahwa Cojus est solum, ejus est usque ad
cuelum, artinya :barang siapa ynag memiliki sebidang tanah dengan demikian juga
memiliki segala –galanya yang berada diatas permukaan tanah tersebut sampai ke
langit dan segala apa yang ada di dalam tanah.
Menurut dalil
tersebut, apabila suatu negara memiliki tanah, maka dengan sendirinya negara
itu akan memiliki ruang udara di atasnya. Ternyata dalil tersebut merupakan
dalil yang bersifat umum, masih ada ketentuan lain yang bersifat khusus sebagai
ketentuan pengecualiaanya. Ketentuan pengecualian itu menyatakan bahwa udara
sebagai unsur res communis. Kata aerrescommunis dijumpai dalam kalimat corpus
juris civitis.
Selanjutnya mengenai
kepemilikan ruang udara ini, sekitar tahun 1913 muncul dua teori, yaitu The Air
Freedom Theory dan The Air Sovereignty Theory. Teori pertama menyatakan, bahwa
udara karena sifat yang dimilikinya, ia menjadi bebas (by its nature is free).
Teori yang pertama ini dapat dikelompokan menjadi :
- Kebebasan ruang udara tanpa batas
- Kedaulatan ruang udara yang dilekati beberapa hak
khusus negara kolong, dan
- Kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah
terretorial di daerah dimana hak -hak tertentu negara kolong dapat
dilaksanakan.1
Sedangkan teori kedua
merupakan kebalikan dari teori pertama, yang menyatakan, bahwa udara itu tidak
bebas, sehingga negara berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah
negaranya. Teori ini dapat dikelompokan menjadi :
- Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap satu
ketinggian tertentu di ruang udara.
- Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak
lintas damai bagi navigasi pesawat -pesawat udara asing, dan
- Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.
Dalam teori kedua ini
tampak sudah ada pembatasan negara atas wilayah udara, yaitu adanya hak lintas
damai (innocent passage) bagi pesawat udara asing. Dengan demikian apabila ada
pesawat udara asing yang terbang di ruang udara suatu negara, maka memiliki
akibat yang berbeda, sesuai dengan teori mana yang dianutnya, apakah teori
udara bebas atau teori udara tidak bebas.
Selain teori -teori
yang sudah disebutkan, ada hal lain yang perlu diketahui, yaitu dalam pasal 1
ayat 1 International Air Transportation Agreement 1944 dinyatakan “Each
contracting State grants to the other contracting State the following freedoms
of the iar in respect of scheduled international air services:
- the privilege to fly across its territory with out
landing
- the privilege to land for non traffic purposes
- the privilege to put down passengers, mail and cargo
taken on territory of the state whose nationality the aircraft possesses
- the privilege to take on passengers, mail and cargo
destined for territory of the state whose nationality the aircraft
possesses, and
- the privilege to take on passengers, mail and cargo detined fr the territory of any other contracting state and the privilege to put down passengers, mail and cargo coming from any such territory”.
Ketentuan pasal 1 ayat
1 dari International Air Tansport Agreement tersebut dikenal juga sebagai The
Five Freedom Agreement. Selain itu dalam Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944
diatur tentang Non Scheduled Flight dan Scheduled Flight. Dengan demikian akan
timbul beberapa masalah antara teori -teori yang ada dengan ketentuan –
ketentuan mengenai penerbangan pesawat udara, khususnya pesawat udara asing.
Permasalahan yang
dapat timbul antara lain, bagaimanakah kaitan antara kedaulatan suatu negara
atas ruang udara diatasnya dengan kebebasan melintas yang dimiliki pesawat
asing sesuai dengan perjanjian -perjanjian yang mengaturnya, bagaimana pula
kaitannya dengan ketentuan mengenai Non Scheduled Flight dan Scheduled Flight
dan bagaimanakah pengaturan mengenai masalah hak lintas dalam hukum udara ?
Hak Lintas (Overfy Rights)
Sebelum menguraikan
mengenai hak lintas, maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang pengertian
lintas itu sendiri. Pengertian lintas sebenarnya sudah dikenal dalam Hukum
Laut, dimana dalam pasal 18 ayat (1) dan (2) Konvensi Hukum Laut 1982, desebutkan
:
Lintas berarti navigasi melalui laut territorial untuk keperluan:
Lintas berarti navigasi melalui laut territorial untuk keperluan:
- melintasi laut tanpa melintasi perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman atau
- berlaku ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh ditengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Lintas harus terus
menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian lintas mencakup
berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan
navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force mejeure atau mengalami
kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal ataun pesawat
udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
Sedangkan pengertian
lintas dalam Hukum Udara, yaitu suatu penertian yang ada dalam dunia
penerbangan, baik oleh pesawat udara sipil, maupun pesawat udara negara.
Jadi pengertian lintas
disini ialah suatu pengertian umum yang dialami dalam dunia penerbangan dan
apabila hal ini dipersolakan, akan memiliki hubungan yang erat dengann masalah
kedaulatan negara di ruang udara. Oleh karena itu, dalam membahas maslah
lintas, kita tidak dapat lepas dari masalah kedaulatan negara diruang udara,
sebab akan dilhat nanti ialah apakah setiap alat penerbangan dapat dengan bebas
melintasi wilayah udara negara asing, ataukah ada pembatasan tertentu.
Pengertian hak lintas
dalam Hukum Udara dapat ditemukan dalam pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944
yang mengatur tentang penerbangan tidak berjadwal (non scheduled flight) dan
penerbangan berjadwal (scheduled flight), serta dalam International Air Service
Transit Agreement dan International Air Transport Agreement tanggal 7 Desember
1944.
Pasal 5 Konvensi Chicago 1944 antara lain
menyatakan:
Semua pesawat terbang
(all aircraft) negara peserta yang bukan penerbangan berjadwal (non scheduled
flight) mempunyai hak untuk melewati wilayah udara negara peserta lainnya (in
transit non stop across…) dan untuk turun bukan dengan maksud mengadakan
angkutan (non traffic) dengan suatu notifikasi.
Selanjutnya Pasal 5
ayat 2 mengatakan, bahwa :
Apabila pesawat
terbang tersebut membawa penumpang, barang pos atau muatan yang dipungut
bayaran selain dari penerbangan berjadwal mempunyai hak untuk menaikan dan
menurunkan penumpang dan sebagainya, akan tetapi harus mentaati peraturan
-peraturan, syarat -syarat atau pembatasan -pembatasan yang ditentukan oleh
negara setempat.
Pada penerbangan yang
tidak berjadwal, seperti yang diatur dalam pasl 5 tersebut, terdapat dau
kategori yaitu:
- Hak untuk lewat dan hak untuk turun bukan untuk
traffic, misalnya untuk keperluan teknis dan pengisian bahan bakar.
- Hak untuk menaikan dan menurunkan penumpang dan
sebainya, akan tetapi harus mentaati peraturan -peraturan, syarat -syarat
dan pembatasan -pembatasn yang ditentukan.
Menurut Nicolas Matte,
pasal 5 ini diilhami oleh semangat liberal. Ia mengatakan “Article 5 is
inspired by relativly liberal spirit and is he basis for more liberal
regulatory regime for non scheduled sevices and flight.”
Pasal 5 ini sebenarnya
merupakan pembatasan dari kedaulatan suatu negara diruang udara diatasnya,
seperti yang disebutkan dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang menyatakan
bahwa : setiap negara mempunyai keadulatan lengkar dan ekslusif diruang
udara di atasnya
Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 menentukan, bahwa:
No scheduled
international airservice may be operated over or into the territory of a
contracting state, except whit the special permmision or other authorization of
that state, and in accordance with the terms of such permission or
authorization.
Adapun yang dimaksud
air sevice menurut pasal 96 (a) Konvensi Chicago 1944 adalah : Any scheduled
airservice performed by aircraft for the public transpot of passengers, mail or
cargo.
Pasal 6 tersebut pada
prinsipnya adalah bahwa pesawat asing yang melakukan penerbangan haruslah
meminta ijin terlebih dahulu kepada negara kolong atau negara dimana tempat ia
terbang.3 Hal ini dapat dipahami,bahwa apabila ada penerbangan yang berjadwal
tentu memungkinkan terjadinya persaingan dengan penerbangan nasional. Untuk
mencegah hal yang demikian diperlukan adanya persetjuan lebih dulu.selain itu,
penerbangan berjadwal juga diatur dalam International Air Service Transit
Agreement dan International Air Transport Agreement tanggal 7 Desember 1944.
ketentuan yang termuat
dalam pasal 6 ini adalah sebagai kegagalan Konvensi Chicago menemukan a formula
for the multilateral exchange of the traffic rights. Sehingga article 6 is
therefore in essense a character for to day`s existing bilatelalism in
regulation of scheduled services
Ketentuan -Ketentuan Lain yang Berhubungan dengan Hak Lintas
Apabila kita perhatikan
Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944, maka akan nampak perbedaan -perbedaan
yakni,
- Pasal 5 menunjukan pada semua pesawat terbang, termasuk
pesawat terbang negara maupun swasta. Sedangkan pasal 6 menunjuk pada
penerbangan berjadwal untuk pengangkutan umum (penumpang, pos dan barang)
- Pasal 5 memberikan hak tertentu kepada semua pesawat
terbang (overfly dan transit) tidak untuk maksud melakukan traffic. Juga
hak terbatas untuk mengambil dan menurunkan penumpang dan sebagainya, akan
tetapi bukan penerbagngan berjadwal dengan aturan dan syarat -syarat
tertentu. Sedangkan pasal 6 bukan merupakan hak tetapi harus dengan ijin
khusus, yaitu adanya perjanjian.
Dalam hubungannya
dengan pasal 6 (penerbangan berjadwal), negara -negara peserta konvensi setuju
untuk mengadakan perjanjian terpisah yang merupakan pertukaran kebeasan
penerbangan udara berjadwal secara multilateral, yakni International Air
Services Transit Agrement atau dikenal juga dengan sebutan Two Freedom
Agreement dan International Air Transport Agreement atau disebut juga dengan
Five Freedom Agreement. yang masing -masing dibahas dalam bagian tersendiri.
Sebelumnya perlu ada pembedaan kriteria antara penerbangan berjadwal (non
scheduled flight) dan penerbangan berjadwal (scheduled flight).
Menurut Dewan ICAO,
kriteria atau ukuran yang dipakai untuk membedakan penerbangan tidak berjadwal
dan penerbangan berjadwal adalah:
A scheduled international air service is a series of flight that prossesses all the following characteristics :
A scheduled international air service is a series of flight that prossesses all the following characteristics :
1)
it passes through the
airspace over the territory of more that one state
2)
it is performed by
aircraft for the transport of passengers, mail or cargo for remuneration, in
such a manner that each flight is open to use by members of the public
3)
it is operated, so as
to serve traffic between the same two or more point, either
a)
according to a
published time table, or
b)
with flight so regular
or frequent that they constitute a recognisably systematic series.
Ketentuan atau batasan
dari ICAO tersebut diatas adalah untuk penerbangan berjadwal, sehingga apabila
salah satu ukuran atau batasan diatas tidak dipenuhi, maka penerbangan itu
menjadi penerbangan tidak berjadwal.
Ketentuan dalam International Air Services
Transit Ageement 1944
Pada prinsipnya dalam
International Air Services Transit Agreement 1944 ini diatur bahwa masing
-masing negara peserta memberikan kepada negara peserta lian berupa kebebasan
udara yang berhubungan dengan penerbangan berjadwal, yaitu sebagai berikut:
- hak istimewa (privilege) untuk terbang lewat dinegara
peserta yang satu ke negara peserta yang lain.
- Hak istimewa untuk mendarat tapi bukan untuk mengadakan
lalulintas (non traffic purposes), artinya tidak boleh mengambil atau
menurunkan penumpang, benda pos atau barang, melainkan hanya keperluan
teknis.
Hak -hak tersebut
tidak berlaku untuk tujuan militer kecuali dalam keadaan perang.
Dengan demikian Two Freedom Agreement tersebut merupakan Transit Right, yaitu :
Dengan demikian Two Freedom Agreement tersebut merupakan Transit Right, yaitu :
- hak untuk terbang melalui wilayah negara pemberi (non
stop over), dan
- hak untuk mengadakan pendaratan (one more stops)
diwilayah negara lain, tapi bukan untuk maksud traffic.
Ketentuan Dalam International Air Transport Agreement
Intinya International Air Transport Agreement ini mengatur, bahwa masing -masing negara pesrta memberikan kepada negara lain kebebasan -kebebasan udara yang berhubungan dengan :
Intinya International Air Transport Agreement ini mengatur, bahwa masing -masing negara pesrta memberikan kepada negara lain kebebasan -kebebasan udara yang berhubungan dengan :
- hak istimewa untuk terbang melintasi suatu wilayah
tanpa mendarat
- hak untuk mendarat tanpa maksud untuk melakukan
traffic.
- Hak untuk menurunkan penumpang, pos dan barang muatan
yang berasal dari negara asal pesawat (flag state)
- hak untuk mengambil penumpang, pos dan barang muatan
denagn tujuan negara kebangsaan pesawat.
- Hak untuk terbang kenegara pemberi hak (grantor) denagn
maksud menurunkan atau mengambil penumpang, pos dan barang muatan untuk
tujuan negara keriga atau yang datang dari negara ketiga.
- Hak untuk terbang kewilayah negara grantor dengan
maksud menurunkan atau mengambil penumpang, pos dan barang muatan dengan
tujuan ke negara carrier (pengangkut), dari negara ketiga yang berasal
different service (airline lain) atau dari negara carrier (pengangkut)
kenegara ketiga.
- Hak dari carrier (pengangkut) untuk beroperasi semata
-mata diluar wilayah bendera untuk terbang ke negara grantor dengan maksud
menurunkan atau mengambil penumpang dan sebaginya yang datang dari atau
tujuan ke negara ketiga, dan
- hak untuk melakukan angkutan udara (traffic) di dalam
wilayah suatu negara (cabotage).
Ketentuan -ketentuan
tersebut dewasa ini disebut sebagai Eight Freedoms Agreement yang termuat dalam
International Air Transport Agreement 1944.
0 komentar:
Posting Komentar